Ujian Nasional : Standardisasi Yang Dipaksakan


Beberapa waktu lalu, dua adik saya yang duduk di kelas 2 SMA sempat terlihat santai di rumah, yang ternyata disebabkan oleh adanya Ujian Nasional (UN) di sekolah mereka sehingga mereka pun bisa berleha-leha untuk sementara. Akhirnya, masa mengerikan bagi seluruh anak Kelas 3 SMA di seluruh Indonesia datang juga.
Omong-omong soal Ujian Nasional, saya jadi ingat dulu waktu saya kelas 3 SMA dan dengan sialnya jadi generasi pertama (kalo ngga salah,tahun 2003) yang merasakan standardisasi untuk nilai Ujian Nasional bagi 3 mata pelajaran : Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sampai sekarang, saya ngga bakalan lupa betapa takutnya saya akan ujian matematika mengingat posisi saya yang sangat mengenaskan waktu ujian, yaitu duduk manis tepat di depan pengawa,huwaaaaa…..Tapi, untunglah walaupun nilai saya termasuk ngga memuaskan, nyatanya saya lulus juga.
Masih jelas dalam ingatan saya peristiwa yang terjadi tahun lalu, yang mana, banyak siswa yang dinyatakan ngga lulus, mulai dari yang memang dari sononya pemalas sampe yang pernah mengikuti olimpiade Fisika hingga berbagai reaksi pun diperlihatkan, mulai dari demostrasi maupun sumpah serapah pada pemerintah yang memberlakukan standardisasi ini. Waktu saya menontonnya di TV, hanya satu hal yang terlintas di benak saya : Untung Waktu Itu Saya Lulus dan untung saja waktu itu standarnya masih bertengger di nilai 3. Huff…baru terasa sekarang rasa bersyukurnya,hehehehe…
Bagi saya pribadi, saya sebenarnya ngga setuju dengan adanya standardisasi UN yang diberlakukan bagi para para siswa di seluruh Indonesia mengingat begitu banyak dampak negatif yang muncul dibandingkan dampak positif yang ada. Tahun lalu, seorang yang menjadi perwakilan pemerintah bilang kalo standardisasi UN ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelajar Indonesia dengan harapan bahwa meningkatnya standar UN dari tahun ke tahun ini akan lebih memacu, baik murid, guru, sekolah bahkan orang tua untuk berusaha agar lebih baik. Sekarang pertanyaannya, apakah hal ini berhasil?
Mari kita bahas apa yang terjadi dengan adanya standardisasi UN yang diagung-agungkan pemerintah selama ini.
Secara Moral, Standardisasi UN ini telah menciptakan kebobrokan sekolah, mulai dari jual beli soal sampai kerja sama para guru di suatu sekolah untuk membetulkan jawaban para muridnya.
Secara psikologis, UN ini menjadi momok yang berlebihan bagi para pelajar yang kemudian menimbulkan stress sampai ada pelajar yang rela menyerahkan keperawanannya pada dukun karena diiming-imingi bisa mengerjakan soal UN karena nanti badannya akan dimasukkan jin lewat persetubuhan dengan sang dukun.
Dan, secara ekonomi, bukan sebuah rahasia lagi kalo UN ini cukup menguras keuangan Negara dan bahkan Orang Tua yang sibuk berusaha agar anaknya bisa lulus sesuai dengan nilai yang ditentukan. Demi Tuhan, sebenarnya, apa yang salah dengan sistem “agung” yang diciptakan pemerintah ini sehingga terasa begitu sulit bagi para pelajar?
Yang pertama adalah karena standardisasi ini dibuat tanpa meningkatkan kualitas guru, sebagai faktor utama keberhasilan murid. Wong, kesejahteraan guru aja ngga diperhatikan, kok bisa-bisanya maksa semua murid jadi pintar dalam sekejap? Kalo menurut saya sih, mengapa dana untuk UN ngga dialokasikan ke kesejahteraan guru saja?

Yang Kedua adalah Sistem UN ini memaksakan semua siswa memiliki kemampuan yang sama, yang tentu saja berlawanan dengan paham spesialisasi. Sungguh hal yang disayangkan kalo gara-gara ngga lulus Bahasa Inggris, seorang anak yang mendapat nilai 9 untuk Bahasa Indonesia dan Matematika harus menerima kenyataan pahit bahwa dia ngga lulus SMA.
Yang Ketiga adalah ketidakmampuan pemerintah untuk menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah proses dan bukannya sesuatu yang hanya ditentukan dalam 3 hari saja. Siapa yang bisa menebak kalo dalam 3 hari itu seorang siswa mengalami masalah atau mungkin berbagai faktor lain yang menyebabkan dia ngga bisa konsentrasi menyelesaikan ujian padahal dalam kesehariannya, dia adalah anak pintar?
Dan yang terakhir, adalah ketidakpercayaan pemerintah pada sekolah sebagai institusi pendidikan. Saya percaya, guru kelas saya pasti akan lebih mengerti saya daripada seonggok komputer yang hanya menilai berdasarkan jawaban. Seorang guru kelas pasti akan menilai kelulusan muridnya dengan berbagai pertimbangan manusiawi yang saya rasa lebih masuk akal daripada hanya menilai berdasarkan apa yang terjadi pada 3 hari UN.
Pada akhirnya, besar harapan saya, semoga tahun ini, banyak adik-adik Kelas 3 SMA saya di seluruh Indonesia yang lulus UN, Wish U all d best!!

Posting Lebih Baru Posting Lama

7 Responses to “Ujian Nasional : Standardisasi Yang Dipaksakan”

flint mengatakan...

saya juga gag suka dengan standardisasi ini.

lebih banyak gag bagusnya daripada bagusnya.
malah saya pernah dengar dari berita kemaren kalo wakil presiden bilang masalah nilai yang bagus/enggag gag masalah, yang penting jujur.
what?
bagi mereka itu gag masalah, nah bagi mereka yang HARUS mengulang karenanya, mau dikasih masa depan kemana??????
cape deeeh,,.
gag ngerti deh sama negaraku ini.
naikin standarisasi dengan cara yang enggag banget menurutku.
wella, tapi doa ajalah semoga setiap hal berjalan lancar

Andrei B. mengatakan...

yaa ak suka kalimat mu! guru lebih memahami ketimbang seonggok komputer tanpa rasa dan nyawa! sangat mewakili!

apa daya kalo SDM kita blm siap yah? tapi juga kapan lagi siap nya? nah lo?
:)

Antown mengatakan...

yang paling saya ingat dalam sejarah sekolah saya.
setelah saya selesai SMA adik kelas saya mulai merasakan sistem semesteran, mereka gak knal lagi sistem caturwulan (cawu).
lalu ada standarisasi yang nilainya makin ditinggikan itu, kasihan mereka yang tidak sanggup mikir dipaksakan dan dipaksakan.
punya solusi nggak? ruang publik harus selalu dibuka lebar2

Unknown mengatakan...

Kasus2 pelanggaran kaya gitu sudah ga asing n mengherankan lagi buat saya,cause t4 saya juga banyak.hehe...(bukan bangga lo)

tapi masalah standarisasi yang makin tinggi,saya pikir ga ada salahnya ko'..

saya sih enjoy2 aja (udah lu2s sih)..

yang ada itu ade saya yang keringetan nunggu hasil ujian(moga lu2s aja)..

Anonim mengatakan...

jadi ingat ebtanas dulu nilai matematika saya anjlok jlok jlok banget...untung masih diambang nilai lulus. yg saya heran dulu soal2 ebtanas itu suuuuliiit banget, bahkan banyak yg gak diajarkan guru

Kristina Dian Safitry mengatakan...

aku benci matematik. meski nilainya gak bagus but, i'm lulus. and gak melakukan pelanggaran.

Ivana mengatakan...

@apriany: yup...saya juga sama ngga ngertinya sama kamu...mari kita tanyakan langsung sama bapak mentri pendidikan,hehehe...
@travellous: SDM kita bisa siap selama yang ngajar difasilitasi dengan baik!!
@antown: yup...sudah tahu tiap tahun selalu bermasalah, pemerintah malah dengan cueknya tetap menaikkan standar!!Aneh!!Mau cuci tangan kalee...
@fauzan: memang bagi kita ngga masalah soalnya sudah lulus, tapi kacian kan adik-adik kita (cuih!!sok baik,hehehe)
@ernita: iya, solnya susah, mungkin karena sistem pengajarannya nggak merata
@kristina: sama dong dengan saya...untung waktu itu saya lulus...