Oktober 2009

Jadi Bangsa Pembajak? Apa Kata Dunia?

Baru-baru ini, Negara kita digemparkan dengan berita “dicurinya” salah satu budaya kita oleh Negara tetangga yang selama ini kita anggap teman. Ada berbagai respon yang mengikuti pemberitaan ini. Ada yang marah, kesal, membalas melalui lagu (ala saykoji) tapi bagi saya, harusnya kita berterima kasih atas pemberitaan ini karena akhirnya kita tahu apa rasanya kehilangan. Bukankah orang tak akan menyayangi apa yang dimilikinya sebelum mereka kehilangan?


Kita menjadi lebih nasionalis, lebih tertarik belajar mengenai budaya Indonesia, lebih merasa satu sebagai Warga Negara Indonesia namun, apa kita yakin bahwa kita tak pernah melakukan “pencurian”?


Isu “pencurian budaya” ini harusnya dijadikan refleksi bagi kita semua. Bagaimana mungkin kita menghujat orang yang mengambil milik orang lain sementara kita juga melakukan hal yang sama. Mau bukti?


Silahkan berjalan-jalan dan temukan berbagai toko yang menjual produk bajakan, yang dalam hal ini saya contohkan adalah karya musik. Baru hari ini kita mendengar musiknya di radio atau menontonnya di televisi, kita sudah bisa menemukannya MP3 yang berisi koleksi album lengkap di toko-toko tertentu.


Pembajakan di Negara kita bukanlah sebuah masalah. Pemandangan produk bajakan yang menghiasi toko-toko seolah menjadi hal biasa. Tak ada yang salah dengan itu. Tak ada yang menganggap hal tersebut sebagai isu yang serius. Sama dengan tak banyak orang yang tahu mengenai Intellectual Property Alliance, sebuah organisasi yang setiap tahunnya mengajukan beberapa Negara sehubungan dengan tingkat pembajakannya kepada USTR (United State Trade Representative). Nah, secara mengejutkan, tahun 2009 ini, Negara Indonesia masuk lagi dalam kategori Priority Watching List, daftar Negara yang tingkat pembajakannya cukup tinggi sehingga membutuhkan pengawasan khusus dari USA.


Selain memberikan kontribusi bagi prestasi di atas, pembajakan di Negara kita juga memberikan kerugian bagi industri musik yang mana, tercatat pada tahun 2004, industri musik mengalami kerugian sebesar 9.35 trilyun. Kini, bagaimana kalau kita yang berada dalam posisi para pemusik itu?


Tak pernah hilang dari ingatan saya mengenai pembicaraan seorang musisi kondang mengenai kekecewaannya pada penggemarnya. Ceritanya, ada acara jumpa fans dan semua fansnya menyodorkan kaset dan CD untuk ditandatangani. Sedihnya, beberapa di antara fans mereka menyodorkan kaset dan CD bajakan sehingga musisi yang bersangkutan merasa sangat kesal. Apabila anda menjadi musisi itu, apa anda masih ingin berkreasi sementara sebagian besar hasil yang harus dipetik malah dipetik duluan oleh orang lain? Kenyataan ini benar-benar mematikan kreativitas Orang Indonesia. Bagaimana kalau hal ini terjadi pada industri lain juga dan semuanya mogok untuk mencipta? Apa kita mau hidup tanpa karya kreatif? Apa kita mau hidup di Negara yang tak menghargai hak cipta sehingga mematikan industri kreatifnya?


Orang-orang selalu bilang kalau Negara kita kaya. Kaya budaya. Kaya Hasil alam. Hanya satu hal yang masih kurang dari Negara kita : Miskin Sumber Daya Manusia. Lucunya, warga kita yang berprestasi malah ditemukan berkarir di Negara lain. Ada banyak faktor yang bisa kita sebut sebagai penyebab tapi apabila ditarik satu kesimpulan, saya jawab : Mereka tidak dihargai. Jasa mereka diabaikan. Karya mereka dibajak. Apa lagi yang harus diharapkan?


Karena itu, sudah seharusnya kita mulai menumbuhkan kesadaran untuk menghargai hasil karya anak bangsa untuk memberikan motivasi lebih bagi anak bangsa untuk berkreasi dan menciptakan berbagai macam inovasi. Dan, apabila budaya menghargai ini terus dijalankan, niscaya kita akan menciptakan ekonomi kreatif yang maju dan berteriak pada dunia : INDONESIA TIDAK MISKIN SUMBER DAYA MANUSIA

Postingan Lebih Baru Postingan Lama