Pemerintah dan Film
Beberapa waktu lalu, saya sempat menonton acara infotainment yang mengabarkan bahwa presiden, wakil presiden beserta para mentri berbondong-bondong untuk menonton film produksi sineas Indonesia, mulai dari Naga Bonar Jadi 2, Ayat-Ayat Cinta sampai yang terbaru adalah KunFayaKun.
Mendengar berita di atas, sebagian dari kita pasti berpikir bahwa tindakan tersebut mencerminkan dukungan pemerintah terhadap Perfilman Indonesia tapi, apakah perfilman Indonesia memang hanya memerlukan dukungan seperti itu?
Sebelum memulai pembahasan, saya akan memperkenalkan anda dengan sinematek Indonesia, yang sejak tahun 1975 merupakan tempat informasi data, pengarsipan, dan dokumentasi perfilman Indonesia..
Sinematek Indonesia sendiri, merupakan arsip fim pertama di Asia Tenggara yang kemudian diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film) pada Tahun 1978 dan secara membanggakan, merupakan arsip Pertama di Asia yang tergabung dalam Asosiasi Internasional namun akhirnya terpaksa keluar dari organisasi yang bersangkutan pada tahun 1998 karena kekurangan dana untuk membayar iuran.Kasihan sekali, bukan? Padahal ada beberapa sinematek dari Negara lain yang sampai sekarang menunggu untuk diterima sebagai anggota.
Adapun, kegiatan perawatan film di Sinematek antara lain mendata negative ex Jepang, membuat dan menempel label Casio, menata penyimpanannya, membersihkan film dokumenter, mengontrol temperatur dan kelembaban suhu di gudang film, serta melayani dan menyiapkan film-film yang akan dipinjam oleh pihak luar.
Adalah sebuah kenyataan yang menggelitik, bahwa sejak Tahun 1978, Sinematek Indonesia sudah tak lagi mendapat kucuran dana dari Pemda DKI karena merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk membina Film Indonesia. Lalu, bagaimana kabar film-film Indonesia yang “dilestarikan” di Sinematek Indonesia?
Tentu saja, karena kurangnya perawatan, film-film yang ada menjadi mudah rusak dan lebih parah lagi, sesuai dari tulisan Ekky Imanjaya, Kritikus Film yang bercerita tentang kesadaran sejarah, diungkapkannya bahwa film-film penting seperti Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta dan Tjoet Njak Dhien tak lagi bisa kita temukan di dalam Sinematek Indonesia. Belum lagi, ada sekitar 400-an judul film yang dikirim dari luar negeri untuk disimpan di sinematek. Mau jadi apa nanti nasib film-film yang tersimpan di dalam gedung sinematek indonesia?
Dengan kurangnya kucuran dana yang tak mampu menutupi biaya operasional di setiap bulannya, sinematek kemudian menemukan satu demi satu masalah yang bisa berakibat fatal pada rusaknya “sejarah” kita yang tersimpan di dalam gedung sinematek indonesia. Adapun, beberapa masalah seperti yang dikutip dari situs YPPHUI adalah : kurangnya sumber daya manusia untuk merawat film-film yang ada yang disebabkan oleh kecilnya gaji, kurangnya sarana dan prasarana untuk mendukung operasional sinematek indonesia, ketidakmampuan untuk membeli beberapa alat pendukung seperti kaleng film, dan bahkan sinematek indonesia tak punya dana lebih untuk membeli koleksi yang berarti. Belum lagi, koleksi film yang ada, harus disimpan dalam ruangan khusus yang dapat menjaga temperatur udara antara 5-7 derajat Celcius dan kelembapan 45-60 persen RH.
Kini, bagaimana dengan pemerintah?
Bagi Pemerintah Indonesia yang memiliki banyak masalah seperti kemiskinan, kerusuhan dan berbagai kecelakaan, film adalah prioritas ke-sekian dengan alasan yang kita kembalikan lagi pada pembahasan pertama: film hanya dianggap sebagai alat hiburan. Sungguh hal yang sangat disayangkan, mengingat bahwa bangsa kita yang yang kaya budaya ini bisa memiliki pemerintah yang bahkan tak mengerti arti sebenarnya sebuah film sehingga kemudian menganggap keberadaan sinematek indonesia bukanlah hal yang penting padahal, di negara-negara yang maju yang sudah mengerti mengenai pentingnya dokumentasi lewat film memberikan perhatian khusus bagi pelestarian film-film mereka. Sebagai contoh, katakanlah Perancis dan Rusia namun, bagi beberapa negar-negara berkembang dan bahkan negara miskin yang sudah memiliki kesadaran, sinematek mereka bagus karena usaha mereka didukung pemerintah.
Negara kita sudah cukup mengalami berbagai hal pahit karena ketidakpedulian dan sikap pemerintah Indonesia yang tak menghargai apa yang dimilikinya. Mulai dengan kehilangan beberapa pulau karena dicomot negara lain, beberapa budaya dan tarian kita bahkan hampir dianggap milik negara lain. Kini, apakah pemerintah harus duduk diam LAGI dan mentelantarkan film?
Kali ini, bila pemerintah melepas tanggung jawab, masyarakatlah yang harus turun tangan dengan mempertimbangkan bahwa kita sudah terlalu lama menjadi bangsa yang bertahan dan bukannya bangsa yang menyerang. Kita sudah terlalu lama duduk berpangku tangan dan hanya beraksi kalau ada yang mengusik kita. Karena itulah, diperlukan kepedulian masyarakat yang kemudian dikumpul dalam suatu wadah khusus untuk menghindari hal terburuk yang bisa terjadi : semua film-film Indonesia di masa lalu dan sekarang akan musnah di masa yang akan datang.
Kini, mari kita berandai-andai ada sebuah lingkaran yang diisi oleh orang-orang yang peduli dengan pelestarian film Indonesia. Bukankah aneh bila segelintir masyarakat Indonesia sudah bersedia membantu sementara pemerintah hanya berada di luar lingkaran?
Semuanya diserahkan kembali pada pemerintah. Hanya tinggal menghitung waktu bagi pemerintah untuk sadar pada saat mereka sudah kecolongan.
nb: ingin mendukung sinematek dalam hal dana?
coba kunjungi situs ini untuk membeli berbagai kaos lucu sekalian mendukung perfilman indonesia