Pemerintah dan Film


Beberapa waktu lalu, saya sempat menonton acara infotainment yang mengabarkan bahwa presiden, wakil presiden beserta para mentri berbondong-bondong untuk menonton film produksi sineas Indonesia, mulai dari Naga Bonar Jadi 2, Ayat-Ayat Cinta sampai yang terbaru adalah KunFayaKun.
Mendengar berita di atas, sebagian dari kita pasti berpikir bahwa tindakan tersebut mencerminkan dukungan pemerintah terhadap Perfilman Indonesia tapi, apakah perfilman Indonesia memang hanya memerlukan dukungan seperti itu?
Sebelum memulai pembahasan, saya akan memperkenalkan anda dengan sinematek Indonesia, yang sejak tahun 1975 merupakan tempat informasi data, pengarsipan, dan dokumentasi perfilman Indonesia..
Sinematek Indonesia sendiri, merupakan arsip fim pertama di Asia Tenggara yang kemudian diterima bergabung dalam FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film) pada Tahun 1978 dan secara membanggakan, merupakan arsip Pertama di Asia yang tergabung dalam Asosiasi Internasional namun akhirnya terpaksa keluar dari organisasi yang bersangkutan pada tahun 1998 karena kekurangan dana untuk membayar iuran.Kasihan sekali, bukan? Padahal ada beberapa sinematek dari Negara lain yang sampai sekarang menunggu untuk diterima sebagai anggota.
Adapun, kegiatan perawatan film di Sinematek antara lain mendata negative ex Jepang, membuat dan menempel label Casio, menata penyimpanannya, membersihkan film dokumenter, mengontrol temperatur dan kelembaban suhu di gudang film, serta melayani dan menyiapkan film-film yang akan dipinjam oleh pihak luar.
Adalah sebuah kenyataan yang menggelitik, bahwa sejak Tahun 1978, Sinematek Indonesia sudah tak lagi mendapat kucuran dana dari Pemda DKI karena merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk membina Film Indonesia. Lalu, bagaimana kabar film-film Indonesia yang “dilestarikan” di Sinematek Indonesia?
Tentu saja, karena kurangnya perawatan, film-film yang ada menjadi mudah rusak dan lebih parah lagi, sesuai dari tulisan Ekky Imanjaya, Kritikus Film yang bercerita tentang kesadaran sejarah, diungkapkannya bahwa film-film penting seperti Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta dan Tjoet Njak Dhien tak lagi bisa kita temukan di dalam Sinematek Indonesia. Belum lagi, ada sekitar 400-an judul film yang dikirim dari luar negeri untuk disimpan di sinematek. Mau jadi apa nanti nasib film-film yang tersimpan di dalam gedung sinematek indonesia?
Dengan kurangnya kucuran dana yang tak mampu menutupi biaya operasional di setiap bulannya, sinematek kemudian menemukan satu demi satu masalah yang bisa berakibat fatal pada rusaknya “sejarah” kita yang tersimpan di dalam gedung sinematek indonesia. Adapun, beberapa masalah seperti yang dikutip dari situs YPPHUI adalah : kurangnya sumber daya manusia untuk merawat film-film yang ada yang disebabkan oleh kecilnya gaji, kurangnya sarana dan prasarana untuk mendukung operasional sinematek indonesia, ketidakmampuan untuk membeli beberapa alat pendukung seperti kaleng film, dan bahkan sinematek indonesia tak punya dana lebih untuk membeli koleksi yang berarti. Belum lagi, koleksi film yang ada, harus disimpan dalam ruangan khusus yang dapat menjaga temperatur udara antara 5-7 derajat Celcius dan kelembapan 45-60 persen RH.
Kini, bagaimana dengan pemerintah?
Bagi Pemerintah Indonesia yang memiliki banyak masalah seperti kemiskinan, kerusuhan dan berbagai kecelakaan, film adalah prioritas ke-sekian dengan alasan yang kita kembalikan lagi pada pembahasan pertama: film hanya dianggap sebagai alat hiburan. Sungguh hal yang sangat disayangkan, mengingat bahwa bangsa kita yang yang kaya budaya ini bisa memiliki pemerintah yang bahkan tak mengerti arti sebenarnya sebuah film sehingga kemudian menganggap keberadaan sinematek indonesia bukanlah hal yang penting padahal, di negara-negara yang maju yang sudah mengerti mengenai pentingnya dokumentasi lewat film memberikan perhatian khusus bagi pelestarian film-film mereka. Sebagai contoh, katakanlah Perancis dan Rusia namun, bagi beberapa negar-negara berkembang dan bahkan negara miskin yang sudah memiliki kesadaran, sinematek mereka bagus karena usaha mereka didukung pemerintah.
Negara kita sudah cukup mengalami berbagai hal pahit karena ketidakpedulian dan sikap pemerintah Indonesia yang tak menghargai apa yang dimilikinya. Mulai dengan kehilangan beberapa pulau karena dicomot negara lain, beberapa budaya dan tarian kita bahkan hampir dianggap milik negara lain. Kini, apakah pemerintah harus duduk diam LAGI dan mentelantarkan film?
Kali ini, bila pemerintah melepas tanggung jawab, masyarakatlah yang harus turun tangan dengan mempertimbangkan bahwa kita sudah terlalu lama menjadi bangsa yang bertahan dan bukannya bangsa yang menyerang. Kita sudah terlalu lama duduk berpangku tangan dan hanya beraksi kalau ada yang mengusik kita. Karena itulah, diperlukan kepedulian masyarakat yang kemudian dikumpul dalam suatu wadah khusus untuk menghindari hal terburuk yang bisa terjadi : semua film-film Indonesia di masa lalu dan sekarang akan musnah di masa yang akan datang.
Kini, mari kita berandai-andai ada sebuah lingkaran yang diisi oleh orang-orang yang peduli dengan pelestarian film Indonesia. Bukankah aneh bila segelintir masyarakat Indonesia sudah bersedia membantu sementara pemerintah hanya berada di luar lingkaran?
Semuanya diserahkan kembali pada pemerintah. Hanya tinggal menghitung waktu bagi pemerintah untuk sadar pada saat mereka sudah kecolongan.

nb: ingin mendukung sinematek dalam hal dana?
coba kunjungi situs ini untuk membeli berbagai kaos lucu sekalian mendukung perfilman indonesia

Positive Impacts of Illegal Music Products

Every case will have pro’s and con’s also, will have a good and bad side so, based on that statement, we can conclude that the existence of Illegal Music Product also has a good impacts, those are :

•Free Promotional tools, especially for the newcomers
As what have been mentioned before, the existence of Illegal Music Product will create loss for Music Industry, singer and composer. Those people will not get the whole income they must get and can’t do anything when they see the people listen for their Music Product in the form of Illegal. But, let’s think the positive side of this case. Illegal Music Product can be their Free Promotional tools whether they aware or not because the existence of their Illegal Music Product will create more people who are able to pay for listening their song and the people who like and know their music will be increased and of course, it will create more famous name for them. For the Diva like Krisdayanti and Titi DJ, the impact may not be significant but, how about the newcomer? Let’s see Inul. Most people know her through illegal Music Product and without promotion, everybody knows her. Or, let’s make assumption. In the market, there are compilation CD and just imagine when the newcomer’s song inserted between known and famous songs in that Illegal CD. When people buy the CD, automatically, will know that newcomer without being promoted.

•The way for the low income people to get extra income
Just like what have been said before, Indonesia is a developing country with monetary crisis inside which means, Indonesia still categorized as low-income level country . Not just low income, there are also many unemployment inside this country. So, it makes sense if people mentioned above takes risk for selling the Illegal Music Product because that is one alternative to get income ( see table 1 ) in this difficult situation without forcing the government continually to help them. Now, Just go to the market and see the sellers of Illegal Music Product. Most of them are the low-income people and from those low-income people, there are some young and jobless people who make the Illegal Music Product to be their means of subsistence. At least, by doing that business, they can reduce their negative activities like stealing and other criminalities that create loss for society.


•Society satisfaction through consumer and Producer surplus
Generally, People like the cheap product and by seeing the condition now, the price of Original Music Product will not satisfy them in this Difficult Economy condition so, by the existence of the illegal Music Product, society can get more satisfaction and entertainment by paying lower than it must be. This situation will create consumer surplus because they pay something but actually they can purchase it with higher price ( or just say, entertainment in a cheap way ) so, the remain of money can be used to do something else. In this case, I use 5,000 which is the cheapest price of Illegal Music Product in the market and 25,000 which is the cheapest Original Music product I the form of CD. Talking about producer Surplus, the producer also gets profit because they sell product with lower cost caused by some agreements and advance of technology. In this case, I use 1,500 as cost of production which consist of Disc ( 1,000 ) and the plastic seal+cover+miscellaneous ( 500 ) and use 2,200 from the case example got from POLDA SULUT.

Ujian Nasional : Standardisasi Yang Dipaksakan


Beberapa waktu lalu, dua adik saya yang duduk di kelas 2 SMA sempat terlihat santai di rumah, yang ternyata disebabkan oleh adanya Ujian Nasional (UN) di sekolah mereka sehingga mereka pun bisa berleha-leha untuk sementara. Akhirnya, masa mengerikan bagi seluruh anak Kelas 3 SMA di seluruh Indonesia datang juga.
Omong-omong soal Ujian Nasional, saya jadi ingat dulu waktu saya kelas 3 SMA dan dengan sialnya jadi generasi pertama (kalo ngga salah,tahun 2003) yang merasakan standardisasi untuk nilai Ujian Nasional bagi 3 mata pelajaran : Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sampai sekarang, saya ngga bakalan lupa betapa takutnya saya akan ujian matematika mengingat posisi saya yang sangat mengenaskan waktu ujian, yaitu duduk manis tepat di depan pengawa,huwaaaaa…..Tapi, untunglah walaupun nilai saya termasuk ngga memuaskan, nyatanya saya lulus juga.
Masih jelas dalam ingatan saya peristiwa yang terjadi tahun lalu, yang mana, banyak siswa yang dinyatakan ngga lulus, mulai dari yang memang dari sononya pemalas sampe yang pernah mengikuti olimpiade Fisika hingga berbagai reaksi pun diperlihatkan, mulai dari demostrasi maupun sumpah serapah pada pemerintah yang memberlakukan standardisasi ini. Waktu saya menontonnya di TV, hanya satu hal yang terlintas di benak saya : Untung Waktu Itu Saya Lulus dan untung saja waktu itu standarnya masih bertengger di nilai 3. Huff…baru terasa sekarang rasa bersyukurnya,hehehehe…
Bagi saya pribadi, saya sebenarnya ngga setuju dengan adanya standardisasi UN yang diberlakukan bagi para para siswa di seluruh Indonesia mengingat begitu banyak dampak negatif yang muncul dibandingkan dampak positif yang ada. Tahun lalu, seorang yang menjadi perwakilan pemerintah bilang kalo standardisasi UN ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelajar Indonesia dengan harapan bahwa meningkatnya standar UN dari tahun ke tahun ini akan lebih memacu, baik murid, guru, sekolah bahkan orang tua untuk berusaha agar lebih baik. Sekarang pertanyaannya, apakah hal ini berhasil?
Mari kita bahas apa yang terjadi dengan adanya standardisasi UN yang diagung-agungkan pemerintah selama ini.
Secara Moral, Standardisasi UN ini telah menciptakan kebobrokan sekolah, mulai dari jual beli soal sampai kerja sama para guru di suatu sekolah untuk membetulkan jawaban para muridnya.
Secara psikologis, UN ini menjadi momok yang berlebihan bagi para pelajar yang kemudian menimbulkan stress sampai ada pelajar yang rela menyerahkan keperawanannya pada dukun karena diiming-imingi bisa mengerjakan soal UN karena nanti badannya akan dimasukkan jin lewat persetubuhan dengan sang dukun.
Dan, secara ekonomi, bukan sebuah rahasia lagi kalo UN ini cukup menguras keuangan Negara dan bahkan Orang Tua yang sibuk berusaha agar anaknya bisa lulus sesuai dengan nilai yang ditentukan. Demi Tuhan, sebenarnya, apa yang salah dengan sistem “agung” yang diciptakan pemerintah ini sehingga terasa begitu sulit bagi para pelajar?
Yang pertama adalah karena standardisasi ini dibuat tanpa meningkatkan kualitas guru, sebagai faktor utama keberhasilan murid. Wong, kesejahteraan guru aja ngga diperhatikan, kok bisa-bisanya maksa semua murid jadi pintar dalam sekejap? Kalo menurut saya sih, mengapa dana untuk UN ngga dialokasikan ke kesejahteraan guru saja?

Yang Kedua adalah Sistem UN ini memaksakan semua siswa memiliki kemampuan yang sama, yang tentu saja berlawanan dengan paham spesialisasi. Sungguh hal yang disayangkan kalo gara-gara ngga lulus Bahasa Inggris, seorang anak yang mendapat nilai 9 untuk Bahasa Indonesia dan Matematika harus menerima kenyataan pahit bahwa dia ngga lulus SMA.
Yang Ketiga adalah ketidakmampuan pemerintah untuk menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah proses dan bukannya sesuatu yang hanya ditentukan dalam 3 hari saja. Siapa yang bisa menebak kalo dalam 3 hari itu seorang siswa mengalami masalah atau mungkin berbagai faktor lain yang menyebabkan dia ngga bisa konsentrasi menyelesaikan ujian padahal dalam kesehariannya, dia adalah anak pintar?
Dan yang terakhir, adalah ketidakpercayaan pemerintah pada sekolah sebagai institusi pendidikan. Saya percaya, guru kelas saya pasti akan lebih mengerti saya daripada seonggok komputer yang hanya menilai berdasarkan jawaban. Seorang guru kelas pasti akan menilai kelulusan muridnya dengan berbagai pertimbangan manusiawi yang saya rasa lebih masuk akal daripada hanya menilai berdasarkan apa yang terjadi pada 3 hari UN.
Pada akhirnya, besar harapan saya, semoga tahun ini, banyak adik-adik Kelas 3 SMA saya di seluruh Indonesia yang lulus UN, Wish U all d best!!

INDONESIAN IDOL : TAMPANG, BAKAT ATAU RASA KASIHAN?


Kemarin, saya sempat menyempatkan diri menonton Indonesian Idol (walaupun mengorbankan penampilan beberapa kontestan karena saya sibuk menonton result American Idol di Global TV) dan harus saya akui, di Idol tahun ini, sejauh ini, kontestan cowok yang paling menonjol dibandingkan kontestan cewek, yang beberapa diantaranya tampil menggenaskan dan sangat mengecewakan tapi, kita lewatkan saja pembahasan ini karena selain takut dosa karena mencaci maki anak orang (cuih…munafik!!hehehe…), saya juga ngga enak menghina gender saya sendiri (emm…).
Yang menarik perhatian saya adalah, untuk tahun ini, faktor apakah yang kira-kira akan menentukan seseorang untuk menjadi Indonesian Idol?
Apakah Tampang? (Walaupun Joy yang memenangkan Idol 1, toh Delon bisa bertahan sampai Grand Final karena…emm..tampangnya)
Apakah Bakat? (suaranya Mike OK Banget,bo!! Negro banget!!Selain Mike,Performance Rini juga cukup memuaskan)
Atau yang menjadi trend akhir-akhir ini : Rasa Kasihan?(Seperti yang terjadi pada Ikhsan, Pemenang Indonesian Idol 3, yang saya rasa sebenarnya ngga pantas memperoleh gelar sebagai Indonesian Idol)
Dan, mau tak mau, kita harus menerima kenyataan bahwa faktor Terakhir inilah yang sekarang banyak dimanfaatkan para peserta Idol yang sekarang, mulai dari nangis Bombay tanpa alasan sampai cerita hidup yang menyayat hati sehingga orang akhirnya malah memilih karena rasa kasihan. Yah, kalo gitu, apalah artinya Indonesian Idol sebagai kontes menyanyi?
Jujur saja, saya ngga begitu suka “drama” yang digelar saat seseorang harus dinilai berdasarkan kemampuannya tapi kini, inilah yang sering ditonjolkan ke pemirsa. Huff…memangnya belum cukup ya, sinetron yang ada di Indonesia? Mudah-mudahan tahun ini pemenangnya bukan karena faktor kasihan.
Sekarang, kalo ditanya soal peserta favorit saya Idol kali ini, saya akan menjawab AJI!!!
Soal tampang itu relatif tapi saya suka dengan kepribadiannya yang ceria plus suaranya!! (wuiih…dahsyat…suara kasarnya itu,bo!!) tapi, apakah Aji bisa bertahan tanpa cerita menyayat hati? Saya juga ngga tau bagaimana nantinya karena lepas dari cerita sedih peserta, jangan lupa kalo yang jadi pemenang Asian Idol adalah Hadi Mirza. Kalo diingat-ingat, sedih juga waktu itu kita ngga ngirim Delon. Kalo memang akhirnya semua dinilai berdasarkan tampang (akuilah!!kalo ngga’, ngga mungkinlah Hadi bisa menang atas Jacqueline dan Big MIKE kalo ngga karena tampang), kita harusnya mengutus si ganteng Delon untuk bersaing menarik simpati orang. Huff…susah juga ya kalo kontes menyanyinya kayak gini,hihihi....

Dasar Bambang!!

Saya punya teman dengan cara memaki yang unik. Jadi, setiap kali dia kesal atau marah, dia akan “memaki” dengan menggunakan nama orang. Contohnya, kalo dia marah karena ditanya berulang-ulang, dia bakal bilang,” Kok nggak ngerti-ngerti juga? Dasar BAMBANG!!!”.
Waktu ditanya alasannya, menurut dia sih, nama-nama manusia dipakai untuk menggantikan nama-nama hewan dan sebangsanya (yang sering diucapkan kalo sedang marah), supaya selain menghindari dosa, juga supaya orang yang dimarahi nggak tersinggung.
Untuk lebih jelasnya, kalo ditilik dari segi bahasa, menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dia baca, maki adalah ucapan yang keji-keji jadi, kalo dikaitkan dengan arti kata memaki, jelas dia nggak memaki,dong?

Beda dari teman yang pertama, ada lagi teman saya yang lain dengan kebiasaan yang nggak kalah unik. Saking terbiasanya memaki, dia sampai keceplosan untuk menyebutkan nama-nama hewan dan sebangsanya pada saat dia bahagia atau memuji orang lain. Contohnya, kalo dia merasa ada temannya yang punya suara keren, dia bakal bilang, “ Gila!!! Suara kamu ****** banget!!”. Secara bahasa, dia memang memaki tapi, orang yang dimaki kok malah tersipu malu?hahahaha....

Lucu juga kalo membandingkan dua teman saya itu tapi, kalo seandainya saya ditanya yang mana yang lebih kurang ajar, saya jelas akan bilang kalo teman saya yang pertamalah yang makiannya lebih kurang ajar.

Alasannya, kalo dari saya pribadi, memaki itu sebenarnya berhubungan dengan maksud dari perkataan yang kita keluarkan.
Baik itu nama-nama hewan sekitar sampe kosa kata lokal tertentu yang punya arti kurang ajar, selama maksudnya baik yah, walaupun kasar dan kurang ajar tetap saja nggak sekurang ajar orang yang memakai nama orang sampe nama merek televisi tapi dengan tujuan “memaki” atau mengutuk seseorang.

Tapi, lepas dari tingkat kekurangajaran di atas, saya pikir teman saya yang pertama cukup pintar untuk menemukan “gaya baru memaki” ini soalnya, menurut cerita teman “penemu” saya, beberapa teman yang “dimaki”nya justru jadi turun emosinya karena dimaki dengan cara yang aneh tersebut. Orang-orang yang kebetulan lewat juga nggak bakal melihat dengan tatapan sinis soalnya mereka nggak tau kalo dia lagi memaki. Ajaib,bukan?

Pada akhirnya, tulisan saya ini hanya untuk mengukur “tingkat kekurangajaran” dari cara memaki dua teman saya dan bukannya ditujukan untuk mempopulerkan “gaya baru memaki ini” karena bagi saya, diucapkan dengan gaya apapun, tetap saja makian itu nggak pernah enak didengar maupun dirasa baik oleh orang yang dimaki maupun orang yang numpang lewat. Jadi, bila harus memilih, saya akan memilih untuk untuk menahan diri agar nggak memaki saat kesal. Kadang memang keceplosan tapi, nggak ada salahnya terus dicoba,kan?
Maklum, takut dosa...

Tuli Itu Penting

Saya ada cerita bagus ni.
Ceritanya, di jaman dahulu, diadakanlah sebuah perlombaan memanjat gunung yang diikuti oleh berbagai katak dan ditonton oleh manusia (aneh,ya?hihihi).
Sebelum acara dimulai, beberapa manusia yang angkuh sudah tertawa-tawa dan mengatakan kalo para katak tersebut tak akan mampu sampai di puncak gunung itu bahkan, pada saat lomba dimulai, para manusia itu masih saja tertawa-tawa dan berteriak
“Kalian Tak Akan Mampu!!”
“Kalian Hanyalah Sekumpulan Katak Bodoh Yang Tak Akan Sampai Ke Puncak!!”
Dan berbagai teriakan yang kemudian diiringi dengan berjatuhannya berbagai jenis katak yang tak mampu sampai ke puncak sehingga membuat para manusia semakin bersemangat untuk mengejek. Hal tersebut terus berlnjut sampai akhirnya hanya tersisa seekor katak yang masih bersemangat memanjat gunung dan akhirnya…DIA BERHASIL MENCAPAI PUNCAK!!
Saat kemudian katak tersebut turun dan ditanyai teman-temannya mengenai rahasia kemenangannya, sang katak hanya menatap meraka dengan tatapan kosong, karena ternyata…KATAK TERSEBUT TULI!!
Bagi saya, cerita di atas sangat menohok (ehm..) karena saya adalah manusia dengan mental katak-katak yang akhirnya tak mampu mencapai puncak karena sibuk mendengarkan perkataan negatif orang . Entah mengapa, dalam melakukan sesuatu, opini orang lain menjadi pertimbangan besar buat saya sehingga terkadang saya memilih untuk melakukan sesuatu karena ingin merealisasikan apa yang diinginkan orang lain ke saya daripada apa yang benar-benar saya inginkan dan saya sadar, itu sangat merugikan saya.
Saya kurang tahu kalau seandainya teman-teman yang lain juga pernah mengambil keputusan berdasarkan apa yang diinginkan orang lain tapi, bagi saya pribadi, saya sedang berusaha mengubah diri untuk menjadi sang katak pemenang, yang “tuli” terhadap berbagai perkataan orang lain karena saya adalah penerima hasil dari semua keputusan yang saya buat dan bukannya para “manusia” yang sibuk berteriak kalau saya tak bisa.

Serba-Serbi Mikrolet

Dulu waktu nonton acara Dorce Show, Dorce pernah sempat berkunjung ke manado dan bilang, Mikrolet di Manado unik. Ternyata, hal senada juga saya dengar dari Farhan saat dia kebetulan berkunjung di Manado jadi, kali ini, saya tergelitik untuk sedikit membicarakan tentang mikrolet di Manado,hihihi….
1. Tarif
Tarif Mikrolet di Manado adalah Rp. 1.750 untuk satu kali naik dan satu kali turun (^_^) yang mana, jumlah yang saya sebut di atas lumayan nanggung karena waktu bayar Rp.2.000 kadang hanya dikembaliin Rp.200, Rp.100 dan bahkan ngga pernah dapat kembalian karena si sopir dengan senyumannya yang paling manis bilang, “Maaf…ngga ada kembalian”
2. Full-Music
Rata-rata anak Muda di Manado yang naik mikrolet untuk menjalankan aktivitasnya pasti selalu update terhadap lagu-lagu Indonesia terbaru karena sebagian besar mikrolet sudah memiliki MP3 player dan sebagai salah satu modal bersaing, mereka bahkan berlomba-lomba untuk memutar lagu Indonesia yang paling popular dan paling baru untuk memuaskan para penumpang (mumpung penjual MP3, CD dan VCD Bajakan di Manado lumayan Berjaya)
3. Sound System
Untuk beberapa mikrolet tertentu, music sering diputar sekuat-kuatnya (kadang diprotes sama ibu-ibu namun kalo anak muda biasanya hanya acuh) sehingga kalo mau sampai di tempat tujuan harus menekan bel (yang bunyinya kayak bel rumah) atau berteriak (Mukaaaa…..Om!!) supaya sopirnya dengar.
4. Televisi Kecil
Nah, beberapa sopir yang jadi trend-setter bahkan memasang televise kecil biar para penumpang bisa mendengar lagu plus menontonnya (mm…bolehlah untuk ukuran Rp.1750)
5. Kursi Mewah
Maksudnya sih bukan sofa tapi ada kursi penumpang yang bisa disetel maju mundur kayak kendaraan pribadi (ini masih jarang jadi hanya sedikit mikrolet yang punya kursi kayak gini. Untunglah saya pernah naik mikrolet yang langka itu).

Percaya ngga percaya, begitulah mikrolet di Manado, berlomba-lomba untuk memperebutkan hati para penumpang dengan memutar lagu-lagu popular sampe dulu, Peter Pan dan Radja pernah dicap sebagai “lagu mikrolet” karena saking seringnya diputar . Abis, setiap dengar lagunya, selalu ingat mikrolet,huahahahaha….


Postingan Lebih Baru Postingan Lama